Laman

Minggu, 11 Maret 2012

Sejarah Intelektual (Part 1)


??? Kenapa Sejarah Intelektual perlu dipelajari di Prodi Sejarah?
Sejarah Intelektual (Intelektus = pemikiran, kecerdasan).
Akal manusia itu dipakai untuk berpikir (baik itu untuk berpikir positif atau negatif). Pemikiran positif terbagi menjadi tiga tingkatan, yaitu biasa/rendah, sedang, dan tinggi (high idea). High idea itu misalnya : Tan Malaka dengan Madilognya dan Bung Hatta dengan pemikiran Ekonomi Kerakyatannya.
Sejarah Intelektual fokus kajiannya pada hasil-hasil pemikiran manusia dari masa ke masa (ingat dengan adanya periodesasi dalam sejarah). Sejarah intelektual : periode dan tempat.
Dalam setiap periode pasti ada pemikiran spesifik, khusus, dan khas.
??? Kira-kira high idea itu apa saja?
High idea bisa saja ilmu pengetahuan, seni musik, seni tari, seni lukis, arsitektur, dan ...isme2 (paham-paham).


??? Istilah apa yang dipakai untuk Sejarah Intelektual?
1.Sejarah Mentalitas (Oleh Sartono Kartodirdjo).
Ada tiga fakta dalam sejarah : mentifact (berkaitan dengan mentalitas!) yang berupa ide-ide, pemikiran-pemikiran, dan gagasan-gagasan; sosiofact yang berupa struktur sosial, kelembagaan, organisasi; dan artefact yang berupa benda-benda.
Sosiofact sangat berpengaruh pada mentifact, misalnya pemikiran Marx berkembang pada masa Kapitalisme, sehingga dia memikirkan Sosialisme (paham yang mengutamakan kepentingan bersama).
2. Cultural History, apa hubungannya? IPTEK sebagai salah satu unsur budaya yang universal karena hasil budaya selalu berkembang oleh pemikiran. Hasil budaya bisa berupa material dan immaterial (sejarah Intelektual merupakan sesuatu yang abstrak).
3. Sosial Ideas (ide-ide yang berkembang di masyarakat).
Isme-isme merupakan bagian dari sosial ideas, sesuai dengan setting budaya masyarakatnya.
4. History of Ideas (Sejarah Ide-ide)
Ingat, ide selalu berkembang dari waktu ke waktu, ide selalu ada pada setiap periode sejarah. Istilah : ada konsekuensi, ada rasionalnya!

??? Apa yang dijelaskan dalam Sejarah Intelektual?
1. “Hasil pemikiran”. Misalnya : Kapitalisme (harus ada akumulasi modal dan modal yang dikeluarkan harus menghasilkan untung) dan Nasionalisme (bangga kepada bangsa dan cinta tanah air).
2. “Siapa tokohnya”. Misalnya : Nasionalisme oleh Soekarno -> bagaimana karakter dari tokoh dan bagaimana sampai terpikir itu.
3. “Konsep/ide yang dikembangkan”. Misalnya : Sosialisme (kemakmuran itu milik bersama, bukan hanya milik pribadi, berlawanan dengan Kapitalisme).
4. “Bagaimana pengaruhnya”. Misalnya : Bagaimana Komunisme bisa tersebar ke negara-negara lain.

“Sejarah Mentalitas Oleh Sartono Kartodirdjo dalam Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah”
??? Apakah sebenarnya penggerak utama tingkah laku pelaku sejarah, atau yang menyebarkan semangat suatu bangsa, atau mendasari watak suatu nation?
Jawabannya harus dicari dengan kata kunci seperti : Ideologi, mitos, etos, jiwa, ide-ide, mentalitas, nilai-nilai, dan religi. -> memberi inspirasi serta membentuk pola sikap yang radikal serta penuh dedikasi terhadap suatu ide.
Misalnya saja : Religi -> Weber => Etika Protestan. Bahwa kerja adalah anugerah dari Tuhan, Keuntungan yang diperoleh juga merupakan anugerah dari Tuhan, sehingga harus dimanfaatkan secara baik.

Unsur-unsur tersebut dapat digolongkan sebagai aspek ideasional dalam kebudayaan atau mentalitas suatu kelompok. Sejarah mentalitas dan sejarah intelektual mengembalikan proses sejarah pada mentifact, fakta yang menunjuk pada ide, pikiran, nilai-nilai, dsb. Sejarah Mentalitas lebih mengutamakan bagaimana ide atau semangat itu mempengaruhi sejarah tertentu. => ada kaitan antara ide dan aksi. Ide (=religi) dan aksi (=perlawanan).

Voltaire (1694-1778) menulis sejarah kebudayaan yang berjudul Essai Sur tes moers et l’esprit des nations (karangan tentang adat istiadat dan jiwa bangsa-bangsa). Istilah “jiwa” digunakan untuk mencakup konsep mentalitas, semangat, atau etos dari bangsa-bangsa.
Istilah “jiwa” merupakan suatu abstraksi, mencakup totalitas karakteristik atau sifat-sifat suatu bangsa yang terwujud sebagai suatu kepribadian atau perwatakannya. Perwatakan suatu bangsa juga mencakup kompleksitas nilai-nilai, ideologi, sejarah dan mitosnya, etos, dsb.

“Cakupan Sejarah Mentalitas”
Bidang garapannya adalah mentifact yang mencakup antara lain ide, ideologi, orientasi nilai, mitos dan segala macam struktur kesadarannya.
Ideologi adalah sistem ide-ide yang menunjuk kepada nilai-nilai sehingga dapa berfungsi sebagai tujuan kehidupan pada umumnya dan pada sistem politik khususnya. Lewat sosialisasi politik, nilai-nilai yang terkandung didalamnya dapat dipolakan serta dilembagakan sehingga seluruh bidang kehidupan mewujudkan gaya, etos, atau jiwa tertentu. Misalnya : Kapitalis (individualis, profit oriented, demokratis) dan Sosialis (kolektif, peran negara dominan,totaliter).

Konsep “Etos” sangat erat hubungannya dengan kepribadian atau mentalitas suatu bangsa. Etos menunjuk kepada seluruh proses pembiasaan yang menghasilkan pemolaan atau pelembagaan nilai-nilai dan terwujud sebagai sikap, watak, dan mentalitas. Apabila proses pembiasaan itu berjalan secara intensif dan kontinu dari generasi ke generasi maka tumbuhlah kelembagaan pada masyarakat yang kuat sehingga seluruh pribadinya menunjuk kepada cap atau watak tertentu.

Dalam suatu masyarakat proses sosialisasi itu selalu dijalankan dan dilembagakan, dan akhirnya mengendap sebagai tradisi. Pembiasaan : sosialisasi (istilah sosiologi), enkulturasi (istilah antropologi, dan internalisasi (istilah ...).
Konsep kesadaran kolektif dimiliki oleh suatu kolektifitas, kelompok sosial, atau komunitas pada saat tertentu dalam sejarahnya. => collective behaviour. Nasib bersama, penderitaan dan penghinaan yang diderita merupakan identitas kolektif. Lazimnya identitas itu bertumpu pada suatu ideologi atau nilai-nilai yang dihayati bersama sehingga tumbuh identitas kolektif. => masuk dalam bidang mental serta mentifactnya.

Kehidupan rakyat serta kebudayaannya, meliputi folklore, folkbelief, folksong, folkways (norma) yang ada diluar kebudayaan dominan. Folkbelief (kepercayaan rakyat) yang masih hidup didaerah pedesaan dan lingkungan tradisional. Mitos, dongeng, cerita rakyat sebagai fakta mental (mentifact) dapat diterima, namun substansinya tidak dapat begitu saja diterima sebagai fakta historis sehingga sejarawan harus berhati-hati menafsirkannya.

Kepribadian (personality) yang ditandai oleh adanya konsistensi, keherensi, serta stabilitas. Merupakan totalitas sifat-sifat, sikap, nilai-nilai yang telah disintesakan sebagai suatu kesatuan (sistem) yang berstruktur. Mentalitas/kepribadian individu terbentuk oleh proses pembudayaan dan pengalaman dimasa lampau. Merupakan produk internalisasi nilai-nilai, pembiasaan perilaku sebagai adaptasi kepada lingkungan, serta segala aktivitas untuk mencapai tujuan hidup. Apabila nilai-nilai itu telah membudaya dalam masyarakat, maka akan tampak watak tertentu yaitu suatu jiwa atau etos. Kepribadian nasional juga merupakan suatu sintesis sebagai ciri, tendensi, serta sikap sebab ada orientasi kepada nilai-nilai tertentu.

Dalam kehidupan suatu kelompok terdapat gaya hidup yang menunjukkan kompleks ciri-ciri yang merupakan suatu sintesis sehingga tampak adanya koherensi dan konsistensi. Gaya hidup terutama dimanifestasikan dalam hal-hal yang tampak (kasat mata) seperti bentuk tempat tinggal, pakaian, dll; atau dalam unsur-unsur yang mencerminkan mentalitas seperti pola bicara, dll. Dibelakang kelakuan lahiriah itu ada nilai-nilai yang mendasari atau mentalitas.

“Pendekatan Teoritis”
Dalam perspektif filsafat fenomonologis, pada hakikatnya berbagai realitas kehidupan manusia berakar atau berasal dari kesadaran.
Sejarah mentalitas dikaji untuk mengungkap mentifact selaku dasar atau pangkal proses atau struktur dari berbagai segi kehidupan manusia.

“Perspektif Realisme Simbolik”
Teori ini bertolak dari pandangan bahwa segala realitas yang mengingkari kehidupan manusia, benda, lembaga, aksi, interaksi, baik proses maupun struktur menunjuk kepada atau mencerminkan nilai-nilai yang ada pada manusia. Aksi dan interaksi dalam pola kelakuan manusia menunjuk kepada nilai tertentu, sehingga kelakuan manusia merupakan lambang yang mencerminkan nilai yang mendasarinya. Realisme yang kita hadapi hanya lambang-lambang yang semuanya mewakili nilai dalam kesadaran manusia. Pengetahuan mentalitas bangsa sangat dibutuhkan untuk memahami proses-proses sejarah serta perilaku para aktor sejarah. Simbol-simbol itu juga yang menunjuk kepada ide, nilai, kepercayaan; atau unsur kesadaran manusia.

“Sejarah Intelektual” Sartono Kartodirdjo dalam Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah
Terdapat tiga jenis fakta sejarah, yaitu : artifact (benda), socifact (hubungan sosial), dan mentifact (kejiwaan) menyangkut semua fakta yang terjadi dalam jiwa, pikiran atau kesadaran manusia.

Kesadaran adalah realitas primer. Realitas tersebut terutama adalah segala sesuatu yang diciptakan oleh manusia, yaitu segala bentuk kebudayaannya. Semua fakta yang nampak sebenarnya merupakan ekspresi dari apa yang terjadi dalam mental orang, antara lain pikiran, ide, kepercayaan, dan segala macam unsur kesadaran.

Kesadaran merupakan prinsip hidup utama dari homo sapiens dan merupakan realitas primer. Realitas tersebut adalah segala sesuatu yang diciptakan oleh manusia berupa kebudayaan. Semua fakta yang tampak sebenarnya bersumber pada ekspresi atau mental orang (pikiran, ide, kepercayaan, angan-angan dan segala macam unsur kesadaran.
Kesadaran sangat penting peranannya sebagai faktor penggerak atau pencipta fakta-fakta sejarah lainnya (revolusi, perang, pemberontakan, gerakan, dll) sehingga perlu dikaji mentifact dalam segala bentuknya yang kesemuanya menjadi objek studi sejarah mentalitas/intelektual/ide-ide.

Namun tidak semua bentuk kesadaran meninggalkan bekasnya (dokumen, monumen) sebab banyak mentifact musnah terbawa mati karena tida tercatat/tidak berbekas. Kehadiran bekas tertulis mendorong sejarawan menginterpretasikan berbagai simbol melalui pengetahuan kebudayaan, sebab realitas simbol dari suatu masyarakat sebenarnya menunjuk kepada mentalitas atau jiwa masyarakat. Sebagai contoh, setiap bahasa sebenarnya merupakan koleksi simbol-simbol yang hanya dapat diketahui artinya lewat Filologi, tetapi juga diperlukan pengetahuan tentang kebudayaannya untuk dapat menginterpretasikan berbagai makna kata-kata sebagai simbol dari pikiran, ide-ide, nilai-nilai, dsb.

Jika ada peninggalan tertulis :
Kajian bidang sejarah intelektual cukup dipermudah dengan adanya dokumentasi berbagai mentifact. Sebagai contoh tulisan hasil sastra telah mencakup bidang etis, estetis, dan ideasional, sekaligus merupakan tuangan gagasan pendidikan. Cerita pewayangan juga mencakup konsep kekuasaan, etika, kepribadian, ketataprajaan.
Dengan metodologi kontekstual serta Hermeneutik (ilmu tafsir) dapat diketahui bahwa berbagai karya sastra , misal : novel, penuh khasanah nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat dimana cerita mempunyai skenario. Contoh nilai-nilai dalam novel : mentalitas golongan sosial, jiwa jaman, sikap dan gaya hidup, diskriminasi ras, otoriatarianisme dan feodalisme, nasionalisme, konflik antara kaum adat dengan kaum modernis, sehingga banyak kode/lambang/simbol didapat oleh sejarah intelektual dari naskah-naskah cerita tersebut.


“Mentalitas sebagai sifat kelompok”

Mentalitas dari sekelompok manusia menunjukkan watak tertentu yang dimanifestasikan sebagai sikap atau gaya hidup tertentu. Mentalitas masyarakat tradisional menganut prinsip senioritas. Mentalitas feodal mengutamakan prinsip hirarki. Keduanya lebih berorientasi pada status. Sebaliknya mentalitas masyarakat industial berorientasi pada hasil kerja.

Mentalitas sering bertalian erat dengan etos masyarakat, berupa keseluruhan nilai yang menentukan gaya hidup kelompok. Sejarah peradaban perlu mencakup sejarah mentalitas masyarakatnya, jika tidak maka akan sulit memahami gejala-gejalanya. Perkembangan teknologi juga sangat tergantung pada etos masyarakatnya, sehingga seluruh peradaban material perlu dikaitkan dan diterapkan dengan kulturnya, khususnya nilai-nilai.

Mentalitas suatu masyarakat sering diwujudkan dalam sifat-sifat atau watak kepribadian tokoh-tokoh sebagai anggotanya. Mereka dapat dianggap sebagai model mentalitas kelompoknya, atau sebagai orang yang berani jauh melampaui standar umum yang berlaku dalam masyarakatnya. Tulisan biografi akan sangat membantu mempelajari mentalitas masyarakatnya.

Ada korelasi antara ide (jalan pikiran) dengan lokasi sosial penduduknya. Struktur pikiran khususnya dan struktur kesadaran pada umumnya perlu dipahami dalam hubungan dalam latar belakang sosio-kultural masyarakat dimana si pemikir hidup.
Ideologi Karl Marx sebagai contohnya, disatu pihak mencerminkan aliran-aliran pikiran yang berpengaruh pada masanya, dan dipihak lain itu mencoba membenarkan suatu tujuan perjuangan atau kepentingan kelas sosial tertentu.

Sejarah intelektual mencoba mengungkapkan latar belakang sosio-kultural para pemikirnya. Pandangan historis sebaiknya lebih mendorong suat relativisme dalam menghadapi berbagai ideologi beserta doktrin-doktrinnya. Namun tidak semua pemikiran ditentukan oleh masyarakat sepenuhnya. Dalam hal ini ideologi dapat didefinisikan sebagai bentuk pemikiran untuk melegitimasikan suatu pembenaran posisi sosial kelompok itu.

Disamping ideologi : bermacam-macam mentifact hanya dapat diungkapkan makna atau identifikasinya apabila ditempatkan dalam suatu konteks sosio-kultural. Perlu dilacak bagaimana ikatan kultural pemikir tercermin dalam bentuk pemikirannya, baik arti-arti maupun strukturnya, etos hidup atau pandangan dunia, kosmologi serta etosnya yang membentuk alam pikirannya.
Pendekatan kontekstual membantu mencari korelasi berbagai aspek kehidupan masyarakat (ekonomi, politik, organisasi sosial, dll) yang bisa teridentifikasi dalam biografi.

Sejarah intelektual (Crane Brinton)”
Dalam arti luas, pokok masalah dalam sejarah intelektual adalah data apa yang saja yang ditnggalkan oleh aktivitas pikiran-pikiran manusia. Bahan-bahan yang terpenting adalah karya para filsuf, seniman, penulis, ilmuwan yang tercatat dalam karya-karya mereka, dan tercatat dalam sejarah khusus dari disiplin yang spesifik (filsafat, kesustraan, dll).

Dalam arti sempit, sejarah intelektual mencoba menceritakan siapa yang menghasilkannya dan bagaimana hasil pemikirannya.

Dalam arti yang lebih luas, sejarah intelektual mencoba mencari dan mengerti penyebaran karya manusia (ide-ide) pada masyarakat tertentu, dan mencoba memahami hubungan antara ide/pemikiran dan kecenderungan/kepentingan, serta faktor-faktor nonintelektual (=sosiokultural) pada umumnya.

“Cara Kerja” :
Sejarawan intelektual berkepentingan dengan berbagai ide, mengelompokkan iden dengan afiliasinya. Akan tetapi perhatian utama adalah memikirkan apa yang akan terjad dengan ide-ide tersebut dalam masyarakat. Sejarawan intelektual berkonsentrasi dalam memberikan tekanan tentang apa yang diartikan ide-ide itu oleh para ahli, dan apa arti ide-ide tersebuit bagi banyak orang.

Contoh sejarawan intelektual adalah George Sarton, Willian Dilthey, Max Webber. Contoh-contoh :
o Herodotus : kepercayaan agama orang-orang Mesir.
o Thucydides : sifat nasional orang Athena & Sparta.
o Machiaveli : pengaruh kepercayaan agama dari orang Romawi terhadap hasil-hasil kerja politiknya.
o Max Weber : Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme (The Protestant Ethic (=etos) and Spirit (=semangat) of Capitalism).


“Perdebatan” :
Secara formal sejarah intelektual dianggap tidak cukup ilmiah, sebab bila dibandingkan dengan sifat materi yang konkrit dari sejarah kelembagaan ekonomi, dan sosial maka materi sejarah intelektual kelihatannya samar-samar dan susah ditetapkan sebagai bagian dari kehidupan nyata. Sejarah intelektual telah mendapat suatu pengakuan akademis dan telah terbukti sebagai jembatan yang sangat efektif antara sejarawan, dan mereka yang mempraktekkan ilmu-ilmu sosial. Sejarawan intelektual selalu mencoba menjadi seorang pemikir daripada seorang pencerita.

“Tipe-tipe sejarah Intelektual” :
Pertama, sejarah intelektual yang mencoba mengembangkan “fakta” tentang siapa menulis apa dan bilamana, dalam bentuk apa di publikasikan, dan fakta-fakta tentang apa yang dihasilkan dalam media budaya selain dengan kata-kata, khususnya jika media itu digunakan untuk propaganda. Contoh karya Charles H. Haskins, The Renaissance of The Twelfth Century (1927) dan Studies in Medieval Culture (1929).
Untuk seorang sejarawan intelektual, tedapat banyak persoalan mengenai “fakta” yang harus dijelaskan, seperti : siapa yang menulis, persoalan publikasi, otentitas memoar, dll. Adanya usaha untuk mengembangkan fakta-fakta ke masalah demografi, tingkat literacy pada masyarakat tertentu karena adanya pengaruh yang nyata, serta dilakukan analisa terhadap hubungan antara kata-kata dan tindakan-tindakan.

Kedua, Sejarah Pemikiran. Berhubungan dengan Kartografi ide-ide (pemetaan ide-ide), istilah yang menurut Arthur O. Lovejoy, yang diidentifikasikan sebagai cluster of idea (pengelompokan ide). Tugas utama sejarawan intelektual adalah menganalisa elemen-elemen yang terpilih adari pengelompokan ide. Sebagai contoh “kontrak sosial” dapat diterapkan untuk membedakan penggunaan yang berbeda-beda, efek-efek emosional yang berbeda dari kata-kata dan ungkapan-ungkapan tertentu pada waktu dan tempat tertentu.

Ketiga, studi hubungan antara apa yang dikatakan orang dan apa yang dilakukannya. “melakukan” mempunyai kompleksitas yang nyata, tetapi “mengatakan” adalah penyederhanaan dari apa yang dikerjakan dalam jaringan otak. Perdebatan menunjukkan ada banyak macam interpretasi terhadap apa yang sebenarnya terjadi.

Sejarawan intelektual mencoba menilai sifat dari efek-efek suatu ide atau kumpulan ide-ide yang menyebabkab manusia berhadapan dengan persoalan penilaian. Sejarawan tidak dapat menhindari menjadi pengembara, meskipun ia berusaha menjadi pembuat peta.

Contoh karya Rosseau :
Sekelompok orang berpendapat bahwa dengan karya itu Rosseau mengusahakan suatu kekuasaan yang berdaulat yang kekuasaannya mutlak, dan pengaruhnya terhadap aktivitas politik pasti untuk membenarkan arbitrasi mereka totalitarisme demokrasi. Kelompok lain menganggap bahwa Rosseau menginginkan kemauan umum diwakili oleh suatu imperativ moral yang dicita-citakan dan pengaruh yang sebenarnya adalah untuk memajukan kebebasan demokrasi dan liberal.

“Tipe-tipe penelitian” :
Sejarah Intelektual dapat menerima pendekatan sejarah perbandingan yang mencoba membedakan dengan jelas elemen-elemen yang umum atau yang unik dalam ide-ide dan sikap-sikap yang kelihatan pada waktu dan tempat yang berbeda.
Sejarah kesusastraan dan eksperimen-eksperimen yang nyata, dan kelompok-kelompok yang hidup dalam masyarakat dibawah pengaruh pemikiran utopia. Suatu unsur dari sejarah intelektual yang memberi ketenangan tentang ide-ide yang sugestif dalam pengertian rakyat.

Sejarah intelektual harus berusaha mendapat sumber bahan yang mempengaruhi pendapat dan sikap lapisan masyarakat tertentu yang ada hubungannya dengan ide-ide yang sedang dibahas, yang mungkin merupakan ciri khas dari kebudayaannya. Penemuan alat pencetak dan perkembangan media massa telah mempermudaj pengumpulan data.
Sejarah intelektual dapat menyempurnakan observasi dan eksperimentasi dengan memberi bahan-bahan yang essensial untuk mengerti perkembangan melalui waktu dan bahan-bahan yang dapat dibandingkan.

Lail Cloudy Fighting!!!

Sejarah Intelektual (Ankersmith) bagian pertama
o Historiografi pada jaman Fajar Budi (enlightment/pencerahan) menaruh perhatian besar terhadap alam pikiran manusia pada masa silam. Para ahli sejarah melihat sejarah sebagai proses perkembangan terus menerus, khususnya perkembangan dan kemajuan dalam bidang akal budi dan moral. Historisme awal tidak hanya memperhatikan permainan politik antara neraga-negara Eropa, tetapi juga tertarik pada hasil-hasil budi manusia pada masa silam. 
     => bahwa biasanya orang-orang fokus pada hanya menulis sejarah politik, namun juga pada hasil-hasil budi manusia

o Perhatian untuk tradisi intelektual dipicu oleh Hegel yang merajai alam pikiran pada abad ke-19.
o Sesudah PDII perhatian untuk sejarah intelektual agak dikesampingkan dalam keseluruhan penelitian sejarah, karena perhatian dipusatkan pada kejadian sosio-ekonomis.
o Dewasa ini sejarah intelektual diberi tempat terhormat lagi dalam keseluruhan pengkajian sejarah. Para ahli menjadi sadar bahwa struktur alam pikiran manusia kadang-kadang lebih lama bertahan daripada struktur-struktur sosio ekonomis. Alam pikiran itu kadang-kadang secara tidak langsung mempengaruhi perbuatan manusia daripada struktur-struktur dalam “lantai bawah” (kejadian sosio-ekonomi.
o Secara intelektual, orang Eropa dewasa ini merupakan anak cucu Fajar Budi dan Romantic, tetapi secara material ditopang oleh struktur tunjangan sosial yang baru berasal dari kurun waktu sesudah PDII.
o Konsekuensinya :
Pertama, sejarah intelektual atau sejarah alam pikiran harus diberikan tempat tersendiri di dalam keseluruhan pengkajian sejarah dengan macam-macam cabangnya. Otonomi dan daya tahan struktur-struktur alam pikiran membuktikan bahwa tidak dapat disamakan dengan garis perkembangan sosio-ekonomis semata-mata.
Menurut Karl Mannhein (1893-1947) konteks sosial merupakan satu-satunya kunci untuk memahami system intelektual yang dikembangkan dalam konteks itu. Pengetahuan akibat penelitian intelektual selalu berdasarkan kesosialan dan hanya dapat diteliti secara memadai dengan sarana-sarana sosiologi, sehingga lahirlah istilah sosiologi pengetahuan.
Sejarah alam pikiran merupakan suatu arus otonom didalam kejadian histories. Struktur-struktur intelektual sendiri mempunyai kemampuan untuk melahirkan struktur-struktur intelektual baru.
Mendekati masa silam dari sudut sejarah intelektual juga dimaksudkan untuk mengetahui kaitan struktur-struktur intelektual.
o Kedua, bila kita mempelajari masa silam dengan harapan agar hasil penelitian historis ada gunanya bagi orientasi di masa kini maka yang paling banyak memenuhi harapan adalah penelitian sejarah alam pikiran.
Dalam sistem-sistem intelektual itu seing terdapat sebuah unsur universal, sehingga ratusan tahun sesudah dikembangkan, masih merupakan titik pangkal yang berguna, bahkan mutlak perlu diperhatikan dalam diskusi-diskusi mengenai hubungan-hubungan antara manusia dan masyarakat.
Varian-Varian dalam Sejarah Intelektual :
Objek penelitian sejarah intelektual adalah segala sesuatu yang oleh budi manusia tercapai tercapai pada masa silam. Bagaimana pola-pola pemikiran manusia pada masa silam, bagaimana mereka mengalami dunia ini, sarana-sarana konseptual mana yang yang mereka miliki untuk mengatur kenyataan yang mengelilingi mereka, adalah beberapa kenyataan yang mengelilingi mereka, adalah beberapa pertanyaan penting yang dipelajari dalam sejarah intelektual.
#Varian pertama :
o Objek sejarah intelektual terletak antara dua bidang penelitian lain, yaitu sejarah filsafat dan sejarah ilmu pengetahuan di satu pihak dan sejarah mentalitas dan sosiologi pengetahuan di lain pihak.
o Dalam kalangan sejarah intelektual, perhatian utama dicurahkan kepada sejarah teori politik, karena bagian dari sejarah intelektual membuka untuk lebih memahami perkembangan sejarah politik dan institusional di Eropa.
#Varian kedua :
o Sering juga dibedakan antara sejarah intelektual di satu pihak dan sejarah ide-ide di lain pihak.
o Sejarah intelektual menyusun kembali pembekalan intelektual dalam suatu kurun waktu tertentu, yaitu : pendapat-pendapat yang umum berlaku pada suatu periode tertentu, bagaimana kompleks ide-ide saling berkaitan, bagaimana alam pikiran mempengaruhi seni bangun atau sastra.
o Dalam sejarah intelektual, ide-ide itu merupakan cirri khas bagi suatu kurun waktu-waktu tertentu, seolah-olah dipandang “dari luar”.
o Selanjutnya aspek-aspek yang beraneka ragam dalam suatu lingkungan kebudayaan dapat diterangkan dengan ide-ide itu.
#Varian ketiga :
o Dalam sejarah ide-ide, ide-ide lebih diteliti “dari dalam”, misalnya : dilacak bagaimana satu ide berkembang dari abab ke abad, bagaimana ide itu menyesuaikan diri, memperoleh bentuk dalam berbagai keadaan sejarah tanpa kehilangan identitasnya, sehingga kita mengenalnya kembali. Ide lalu dapat disamakan dengan konsep maupun pernyataan-pernyataan singkat.
o Cpntoh telaah mengenai sejarah ide-ide oleh Arthur O. Lovejoy, The Great ChainnOf Being (1936). Ide yang di teliti adalah konsep, bahwa dalam kenyataan segala kemungkinan terwujud dalam suatu harmoni yang sempurna. Selanjutnya ide-ide ini dianalisis menurut unsur-unsur yang logis, kemudian dilacak dalam tulisan Plato, Spinoza, Leibniz, dan lain-lain. Ternyata ide itu memainkan peranan yang tak terduga dalam sejarah alam pikiran Barat.
o Karya Freidreich Meinecke, Die Idee der staatsrason (1924) melukiskan konflik antara kekuasaan dan etika dalam pandangan Machiavelli sampai abad ke-19.
o R. Kosseleck dkk menulis sebuah kamus ide-ide dasar dalam sejarah. Terdapat sekitar 150 ide dasar, dipaparkan arti dan perubahan dalam arti semenjak tahun 1750-1850. kurun waktu ini dipilih karena sejumlah pengertian sosial dan politik telah berubah di dunia barat akibat pengaruh modernisasi.
*Kosseleck menemukan tiga macam perubahan pokok, yaitu :
- pengertian sosial dan politik memperoleh arti sehingga dapat dipergunakan dalam kalangan yang makin luas di masyarakat.
- pengertian-pengertian kehillangan sifatnya yang statis dan diselaraskan dengan perkembangan sejarah.
- konsep-konsep sesudah tahun 1750 dapat dipakai untuk maksud-maksud politik dan ideologis.
Ankersmith (bagian 2)
o Asal usul metodologis :
Cara kerja seorang peneliti sejarah intelektual tidak berbeda jauh dari cara kerja seorang sejarawan. Metodologi sejarah : Heuristik, Kritik, Interpretasi, dan Historiografi.
Asal usul pembaruan metodologis diajukan oleh Q. Skinner, J.G.A. Pocock, dan M. Faucault.
# Q. Skinner
Skinner mengkritik dua aspek dalam sejarah intelektual tradisional, yaitu :
o Kontekstualisme, yaitu usaha untuk mengerti konsep-konsep politis dan filsafati dari keadaan sosio-ekonomis dan historis yang meliputinya pada waktu konsep itu dilahirkan.
o Pandangan dasar dalam kontekstualisme bahwa suatu filsafat (politik) selalu bertujuan membenarkan secara teoritis, hubungan sosial-ekonomi yang sedang terjadi, sehingga seorang filsuf politik membela pendapat tertentu.
o Menurut Skinner, harus dibedakan antara penelitian mengenai apa yang dimaksudkan seorang filsuf ketika menulis sesuatu dan mengapa ia membela pandangan tertentu.
o Seorang sosiolog pengetahuan dan kontekstualis, menerima sebagai data apa yang sebetulnya merupakan tugas seorang peneliti sejarah intelektual, yakni apa yang dimaksudkan pengarang ketika ia menulis sebuah teks filsafat politik.
o Menurut tekstualisme, setiap teks filsafat politik mengandung sebuah jawaban dasar. Andaikata teks itu tidak dengan serta merta menyajikan suatu jawaban maka sang peneliti harus mencari jawaban dari teks tersebut.
o Menurut Skinner, kesalahan tekstualisme adalah berusaha memeras teks dan menyajikan lebih banyak daripada apa yang terkandung dalam teks itu. Sikap itu disebabkan karena dogma “pertanyaan-pertanyaan abadi” uang sepanjang sejarah berpengaruh dalam alam pikiran politik.
o Menurut Skinner, tiada pertanyaan-pertanyaan abadi. Setiap kurun waktu mempunyai pertanyaan-pertanyaan sendiri yang khas dalam bidang filsafat politik. Dari seorang filsuf politik yang hidup pada abad ke-15, tidak dapat diharapkan agar ia memberi jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan yang baru muncul pada abad ke-18. Kritik Skinner terhadap tekstualisme berasal dari sudut pandang pengkajian sejarah.
o Skinner menolak setiap usaha dari para peneliti sejarah intelektual untuk menempatkan seorang filsuf diluar kerangka waktunya sendiri. Antitekstualisme yang diperjuangkan Skinner mengandung suatu penolakan terhadap sejarah ide-ide yang meneliti perkembangan sebuah ide dari masa ke masa tanpa memperhatikan bahwa ide itu diberi wujud tertentu oleh pertanyaan-pertanyaam yang khas bagi suatu periode tertentu dalam sejarah.
#J.G.A. Pocock :
o Yang ditekankan tentang bahasa. Secara tradisional penggunaan bahasa dianggap kurang penting, fokusnya adalah : kenyataan historis dan penafsirannya.
o Bahasa dan pengistilahannya merupakan wahana linguistik yang netral yang dipakai oleh seorang pengarang untuk mengungkapkan penafsirannya. Tetapi menurut Pocock, bahasa dan peristilahan yang dipakai oleh seorang filsuf politik merupakan faktor yang jauh lebih penting. Bahasa dan peristilahan dalam filsafat politik merupakan sebuah objek historis yang dapat dan harus diteliti.
o Seorang sejarawan intelektual tidak hanya berurusan dengan ide-ide, melainkan juga dengan bahasa dan terminology yang mereka pakai untuk mengungkapkan ide-ide. Sarana-sarana konseptual dan terminology mengarahkan ide-ide mereka ke suatu pemikiran tertentu.
o Misalnya : pengistilahan “country” dan “court”.
Konsep court mencakup modernisasi Negara Inggris dan masyarakatnya sesudah 1988, ide tentang pembebasan.
Country : kadang diartikan “Negara” dan kadang diartikan “desa”. Jadi harus mengkaji tentang asal muasal kata itu diluncurkan.
#M. Faucault :
o Penulis sebuah teks bukanlah pengarangnya, melainkan prinsip yang memberi kesatuan, keberkaitanm dan penataan kepada arti-arti yang terkandung dalam kata-kata yang dipergunakan dalam teks itu. Dengan kata lain, bahasa dan arti kata yang diutamakan, sedangkan maksud pengarang dinisbikan.
o Bagi Faucault, masa silam pada hakikatnya merupakan suatu lautan manusia yang ngomong-ngomong dan berbicara, lautan kata dan bahasa yang dipakai dalam keadaan yang beraneka ragam
Yang ingin dilakukan adalah membuat struktur didalam lautan omongan manusia pada masa silam.
o Konsep episteme yang dipakai oleh Faucault memiliki tiga sifat utama :
1) Episteme menentukan bagaimana kita melihat dan mengalami kenyataan.
2) Episteme selalu dikaitkan dengan larangan, penyangkalan, dan pengesampingan.
3) Dalam episteme bagaimana diungkapkan suatu hubungan tertentu antara bahasa dan kenyataan.
*persamaan antara Pocock dan Faucault adalah tetap mengutamakan “bahasa”.
Perkembangan Pemikiran :
Barat -> dimulai zaman “Yunani”, lalu ekspansi Alexander The Great ke Timur (=Persia). Kelak mengadopsi sedikit demi sedikit budaya Persia.
Masa antara Yunani dan Romawi disebut Helenistik (Hellas artinya menyerupai).
Ide dasarnya dari Yunani ( kebebasan berpikir; rasional : menggunakan akal; sistematis : berurutan, misalnya Silogisme -> menarik kesimpulan; kesemestaan : alam + manusia; dan abstrak) + mengadopsi dari Persia.
“Romawi” :
Dasar pemikiran yang disebutkan diatas masih dikembangkan, namun orang-orang Romawi menambahkan pemikiran yang tidak abstrak kemudian dikonkritkan/aplikatif/operasional. Misalnya : Colosseum.
Lalu akan stagnant ketika abad pertengahan karena pemikiran bersifat dogmatis. Abad pertengahan : Theos = ketuhanan, dogmatis, kepercayaan. => didasari oleh wahyu Ilahi.
Lalu mengalami pergeseran pada masa “Renaissance”, dibangkitkan lagi bebas dalam pemikiran.
Islam -> mengeksplore ajaran dalam Al-Qur’an -> mendorong Islam menuju kejayaan -> berkembang abad ke-8.
Timur : Persia, India (berkembang karena lingkungan alam, sentralnya Gunung Himalaya), dan Cina. => dasarnya pada harmoni/keseimbangan, bersifat simbolik.
Kecerdasan seseorang dipengaruhi oleh kemampuan nala terhadap permasalahan di sekitar kita, bisa masalah sosial, ekonomi, politik, etc juga dalam kemampuan menggunakan panca indra secara empiris.
Intelektual = kemampuan nalar (permasalahan disekitar, pemikiran low dan high) + empiric. Misalnya : orang Yunani yang memikirkan tentang kosmos dan antropos (manusia)
Teknologi :
- bukan hanya hal-hal yang bersifat “wah” saja, tapi juga hal-hal kecil yang berguna.
- Merupakan penerapan dari pengetahuan ilmiah kea lam.
- Merupakan pengetahuan sistematis tentang seni industrial atau penerapan pengetahuan ilmiah untuk industri. Bisa diartikan sebagai ilmu terapan (applied science), dibagi empat : teknologi fisik, teknologi biologis, teknologi sosial, dam teknologi pikir.
Science (ilmu) itu mengalami perkembangan sejak dari masa pra sejarah. Zaman batu : palaeolitikum, , mesolitikum, neolitikum.
Batu yang digunakan pada zaman batu tersebut disebut “alat”.
??? kenapa disebut “alat”?
Karena mempunyai kegunaan. Kecerdasan mereka berkembang karena terbukti dengan penggunaan alat dan bisa memilih batu mana yang bisa dijadikan alat. Selain itu juga dengan adanya teknik menanam.
Ilmu :
  1. Purba : zaman batu
  2. 1500-600SM : kemampuan menulis, sehingga bisa meyebar.
  3. Zaman Yunani : mengajarkan konsep-konsep berpikir logis, pidato.
  4. Zaman Romawi : lebih menyumbang di bidang militer.
  5. Abad pertengahan : tidak banyak perkembangan ilmu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar