Laman

Jumat, 09 Maret 2012

MODERNISASI ADAT PERNIKAHAN DI MEULABOH ACEH BARAT


BAB I
PENDAHULUAN
1.1              Rumusan Masalah
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar, bangsa yang memiliki aneka ragam budaya. Keanekaragaman budaya Indonesia itu tersebar di seluruh tanah air bagaikan butir-butir permata yang tak ternilai harganya. Karena kebudayaan daerah merupakan indentitas dari suatu suku bangsa dan juga sebagai landasan pembangunan budaya nasional, maka selaku warga yang cinta pada negara, selayaknyalah kita selalu berusaha untuk melestarikan dan menjaga budaya bangsa kita. Tetapi akhir-akhir ini terlihat adanya pergeseran nilai budaya akibat adanya animo masyarakat yang menganggap segala sesuatu yang datang dari luar lebih baik daripada yang ada dalam negeri. Hal itu menyebabkan budaya luar itu dapat dengan mudah menggeser kedudukan budaya daerah. Selain itu orang-orang tua yang ahli mengenai adat-istiadat sudah mulai langka dan buku-buku yang membicarakan budaya daerah yang ada di seluruh Indonesia belum begitu banyak,khususnya kebudayaan Aceh Barat, sehingga dikhawatirkan kebudayaan itu akan punah dan tidak dapat dikenal lagi oleh generasi penerus.
Sehubungan dengan hal tersebut, penulis terinspirasi untuk menuangkan tulisan kedalam bentuk makalah mengenai "Modernisasi Adat Pernikahan Aceh Barat”, dengan tujuan agar pembaca dapat mengetahui adat asli pernikahan Aceh Barat dan dapat melestarikanya.

1.2              Rumusan Masalah
1.      Bagaimana adat pernikahan asli Aceh Barat ?
2.      Bagaimana pengaruh Modernisasi terhadap adat pernikahan Aceh Barat ?




BAB II
PEMBAHASAN
2.1       Adat Pernikahan Asli Meulaboh, Aceh Barat
            Peta budaya Aceh Barat adalah wilayah pesisir bagian barat propinsi yakni Aceh Barat dengan ibu kotanya Meulaboh. Meulaboh, di masa lalu menjadi Bandar yang cukup ramai didatangi oleh para niagawan mancanegara. Mereka membawa serta aneka keterampilan serta kebiasaan yang memperkaya budaya setempat sehingga tampil sebagaimana dewasa ini dikenal dengan gaya Aceh Barat. Oleh Karena itu masyarakat Aceh barat memiliki ciri khas tersendiri dalam ungkapan budayanya dibandingkan dengan kawasan Aceh lainnya.
            Pendudukan Belanda atas wilayah kerajaan Aceh tidak membahayakan struktur adat secara keseluruhan. Misalnya pernyataan adat dalam bentuk upacara perkawinan di Aceh sama sekali tidak ada pengaruh Belanda (dalam bentuk kebudayaan Aceh Barat). Tidak ada dari unsur-unsur upacara perkawinan yang mencontoh model upacara perkawinan Belanda. Adat upacara perkawinan di Aceh sampai dengan berakhirnya pernerintahan Belanda masih utuh sebagai adat dan upacara perkawinan tradisional.
Perkawinan adalah pernikahan antara seorang pria dengan seorang wanita, membina keluarga sejahtera dan bahagia sesuai dengan ketentuan agama islam dan adat istiadat dalam masyarakat. Bentuk – bentuk upacara perkawinan antara satu daerah dengan daerah yang lain tidaklah sama. Pada umumnya orang – orang menggunakan adat dan tata cara perkawinan yang sesuai dengan daerah asalnya masing – masing.
            Dalam adat pernikahan Aceh Barat, juga memiliki beberapa perbedaan dengan adat di daerah Aceh lainnya. Hal ini disebabkan karena setiap daerah memiliki ciri khas masing-masing dalam pelaksanaan adat istiadatnya.

2.1.1    Persiapan dan Pembukaan Upacara Perkawinan
a.    Jak Keumalen/ cah Roet
Jak Keumalen/ Cah Roet ini ada dua cara, yaitu:
1.         Langsung dilakukan oleh orang tua atau keluarga
2.         Theulangke dilakukan dengan menggunakan utusan khusus.
Maksud Jak Cah Roet adalah sebagai tahapan pertama dalam menjajaki atau merintis jalan. Biasanya beberapa orang dari pihak keluarga calan mempelai putri, datang bersilaturrahmi sambil memperhatikan calon mempelai putri, suasana rumah dan tingkah laku keluarga tersebut. Pada kesempatan ini, calon pihak mempelai pria juga tidak lupa membawakan bungong jaroe atau bingkisan yang berupa makanan. Setelah adanya pendekatan, keluarga calon mempelai pria/ linto baro akan menanyakan apakah putrinya sudah ada yang punya atau belum. Apabila mendapat jawaban dan sambutan baik dari pihak dara baro, maka dilanjutkan dengan jak lake (jak ba ranub).
Upacara itu terjadi disebabkan pada masa lampau hubungan atau komunikasi antara wanita dan pria khususnya antara remaja berlainan jenis kelamin dianggap tabu, hubungan mereka sangat terbatas (tidak sebebas hubungan remaja masa kini, sejak pertengahan abad 19). Selain itu peranan orang tua terhadap anaknya sangat dominan (over protektif) sehingga dalam memilih jodoh pun menjadi tanggung jawab orang tua masing-masing remaja, baik pria maupun wanita.
b.    Jak Lake Jok Theulangke/ Jak Ba Ranub (Meminang)
Dalam acara ini orang tua pihak Linto (Mempelai Pria) memberi theulangke (utusan) dengan membawa sirih, kue-kue dan lain-lain. Pada theulangke, pihak linto sudah mulai mengemukakan hasratnya kepada putri yang dimaksud. Apakah pihak putrid menerima, akan dijawab “insya Allah” dan pihak keluarga serta puteri yang bersangkutan akan melakukan musyawarah. Jika hasil musyawarah tersebut “tidak diterima” oleh pihak keluarga atau pihak puteri, maka mereka akan menjawab, dengan alasan-alasan yang baik atau dengan bahasa isyarat “hana get lumpo/ mimpi yang kurang baik”. Sebaliknya jika “diterima” oleh pihak keluarga puteri, akan dilanjutkan dengan “Jak ba tanda”.
Di kalangan orang tua masa lampau masih banyak yang percaya pada hal-hal yang berbau mistik, seperti adanya makna dari mimpi dan percaya pada kekuatan-kekuatan alam. Kepercayaan itu dipengaruhi oleh ajaran agama islam yang kadang kala masih membaur dengan ajaran animism atau kepercayaan yang di anut oleh nenek moyang kita zaman prasejarah, sehingga dalam menentukan pinangan diterima atau tidak, juga masih dipengaruhi oleh kepercayaan tersebut.
c.     Jak Ba tanda/ Bawa Tanda
Maksud dari “jak ba tanda” adalah memperkuat (tanda jadi). Biasanya pada upacara ini pihak calon linto membawa sirih lengkap dengan macam-macam bahan makanan kaleng, seperangkat pakaian yang dinamakan “lapek tanda” dan perhiasan dari emas sesuai dengan kemampuan calon linto baro. Ba tanda” ini di tempatkan didalam “talam/ dalong” yang dihias dengan bunga kertas, kemudian tempat-tempat itu di kosongkan dan di isi dengan kue-kue sebagai “balah hidang” oleh keluarga mempelai putri. Acara balah hiding ini biasanya dilaksanakannya bias langsung atau setelah beberapa hari kemudian.
Dalam upacara ini sekaligus dibicarakan hari, tanggal pernikahan, jeulame (mas kawin), peng angoh (uang hangus), jumlah rombongan pihak linto serta jumlah undangan. Dalam adat Aceh Barat, Jika dalam kesepakatan tersebut pihak calon mempelai wanita membatalkan ikatan tersebut maka pihak calon mempelai wanita berkawajiban membayar 2 kali lipat dan jika pihak calon mempelai pria yang membatalkan maka tanda pengikat tersebut juga harus membayar 2 kali lipat.
2.1.2        Upacara Peresmian Perkawinan
Upacara peresmian perkawinan, merupakan upacara yang paling puncak dalam rangkaian adat dan upacara perkawinan. Peresmian perkawinan yang sudah lama ditunggu-tunggu dan dipersiapkan, kini tiba saatnya. Selam tenggang waktu tersebut, kedua belah pihak meempersiapkan diri masing-masing secara individu maupun secara kekeluargaan. Masing-masing pihak tidak akan meremehkan upacara besar itu. Sebagaimana dalam upacara peresmian perkawinan, dalam upacara pelaksanaan perkawinan di tiap-tiap daerah adat Aceh mempunyai ciri khas tersendiri. Ciri khas itu terlihat dalam berbagai aspek, antara lain dalam soal-soal makanan, hiasan pelaminan, menyambut pengantin laki-laki dan sebagainya.
Namun pernikahan seperti dalam hukum Islam sudah menjadi syarat mutlak, bila belum dipersandingkan, pernikahan itu dianggap masih belum sempurna. Pada upacara persemian perkawinan lebih dititik beratkan pada materi-materi yang diperlukan, meliputi peralatan dan keuangan. Upacara peresmian perkawinan akan dilakukan apabila kedua belah pihak (suami-istri) sudah 13 menyepakati waktu tertentu melalui perantara. Waktu dipilih disesuaikan pula dengan hari bulan tertentu, yang menurut anggapan orang Aceh lebih baik. Pemilihan waktu terbaik, dikaitkan pula dengan ekonomi. Artinya orang Aceh memilih waktu bila panen sudah berakhir dan hasilnya sudah ada di rumah, dengan maksud meringankan pembiayaan pihak-pihak yang bersangkutan, karena sistem turun ke sawah masih setahun sekali di Aceh, maka waktu yang dipikir untuk mengadakan peresmian perkawinan adalah sekitar bulan April dan Mei tahun Masehi, atau sekitar bulan Rabi’ul awwal bulan Hijriyyah. Pada saat-saat tersebut hasil panen sudah berada di berandang rumah (kepuk padi). Untuk mengadakan pesta perkawinan dilakukan di dua tempat (calon suami dan calon istri) sedangkan khusu untuk malam ”mempelai” atau ”bersanding dua” diadakan di rumah mempelai wanita (rumah si gadis). Upacara-upacara tersebut diantaranya adalah :

a.      Mekeurija (pesta menyambut linto ke tempat dara baro) disertai dengan pembuatan tenda (jambo/seung) dengan system bergotong royong.
Peudap jambo, atau pasang tarun pada adat perkawinan di jawa, dibuat kurang dari tujuh hari sebelum pesta diadakan. Dikerjakan oleh pemuda kampong (kaum pria). Bila sudah selesai dipeusijuk (di tepung tawar) bersama cawan pingan (peralatan makan). Jambo ini didirikan dihalaman rumah sebagai tempat menerima tamu, biasanya untuk tamu pria, sedangkan untuk tamu wanita biasanya di terima di rumah. Untuk besan terdekat disediakan tempat khusus dan hidangannya telah tersedia di tikar atau permandani.


b.      Peulaminan (Pelaminan)
Saat itu di dalam rumah juga dihias dengan tabing atau tabir pada dinding tempat menerima tamu. Untuk tempat duduk pengantin dibuat pelaminan yang terdiridari:
·         Tabeng (Tirai)
·         Ayue-ayue di tempatkan diatas/ depan pelaminan
·         Boh keulembu, hiasan ini berupa binatang-binatang.
·         Kasho Duk, tilam persegi emapat untuk duduk yang di lapisi dengan tika meusujoe (tikar bersulam benang emas/ kasab).
·         Dan lain-alian sulaman khas aceh untuk keindahan yang tidak terikat.
Pada zaman dahulu, pelaminan dibuat dari kayu berbentuk tempat tidur dan berukuran single bad, serta dihias dengan kain tile (seperti kelambu) atau kain yang diberi hiasan, boleh juga kain brukat. Warna dasarnya kuning, merah dan hijau atau violet.
Kain hiasan berkasap dibuat secara tradisional daerah Aceh. Masing-masing kain yang terdiri dari berbagai warna yang berukuran 2,25 m yang terdiri dari 7 (tujuh) macam warna. Pada bagian kiri dan kanan pelaminan memiliki warna yang sama simetris. Kain-kain tersebut, bagian depannya ditarik kesamping kiri dan kanan dengan menggunakan kait kelambu yang terbuat dari emas atau perak. Sehingga terlihat seperti pintu berlapis 7 (tujuh) Pinto Tujoh.
Pada bagian atas pelaminan (kiri, kanan dan depan) dilapisi dengan ayu-ayu 9kain berbentuk riak-riak yang bersulam emas). Kain-kain yang ada disamping kiri-kanan juga dibentuk seperti bagian depan (berbentuk fitrasye jendela). Setelah itu, di seluruh pelaminan disematkan hiasan-biasan berupa kipas, ayam, kepiting, atau hiasan lainnya sesuai dengan seni masing-masing perias.
Alas tempat duduk diberi tilam dan dilapisi dengan sarung tilam berkasab (tika meusujoe) dan dilengkapi dengan sepasang bantai 9bantal) sadeu (banta sandaran), kaso duek (tilam duduk); sedangkan di samping kiri dan kanannya dihiasi dengan bantai meutampok (bantal bertampuk emas/perak) dan masing-masing berjumlah ganjil.
Pada dinding-dinding sekitar pelaminan diberi “tabing” (tabir/ tirai) dan dibagian atasnya diberi kain langit-langit. Pada lantai di sekitar pelaminan dibentangkan permandani. Dari mulai pintu masuk sampai ke pelaminan di bentangkan kain titi. Pada zaman dahulu, kain titi berwarna kuning hanya digunakan oleh kaum bangsawan saja, tetapi zaman sekarang dapat dipat oleh semua orang yang menghendakinya. Setelah itu, di bagian depan pelaminan diberi sepasang dalong kiri dan kanan berisi seunijuek, yang terdiri dari:
·         Beulukat dengan tumpo (ketan kuning dan tumpo/inti sari)
·         On seunijuek (Daun cocor bebek)
·         On Gaca (Daun Pacar/ Inai)
·         Naleung Sitambo (Rumput/ Gulma/ berakar kokoh)
·         On Seuke Pulot (Daun Pandan)
·         Manek Mano dan lain-lain dengan jumlah ganjil.
·         Breuh Padee/ Kunyet (beras Padi Kunyit)
·         Bungong Rampou (bunga rampai)
·         Ie Lammangkong (Air dalam mangkok)
·         Barang Meuh (Barang Emas).
Pada sisi kana nada dalam piring besar, di tempatkan dalam dalong yang telah dialasi ceradi 9 alas dalong berumbai). Kemudia ketan itu dihias atasnya dengan U mirah (Kelapa gongseng Merah). U mirah yang menjadi hiasan tersebut dapat berupa bunga atau gambar apa saja yang disukai. Kemudian dalong tersebut ditutup dengan sangee (tudung saji) dan diatasnya di tutup lagi dengan seuhap (kain penutup dengan sulaman kasab).
c.       Malam Peugaca (Malam Berinai)
Arti dari malam peugaca adalah malam berinai menjelang Wo linto. Dalam upacara ini juga diadakan peusijuek calon dara baro (mempelai wanita), dan peusijuek gaca, bate mupeh (batu giling). Maksud dari peusijuek adalah memberi dan menerima restu, serta mengharapkan keselamatan atas segala peristiwa yang telah dan akan terjadi. Persediaan dan Makna:
·         Breuh Pade (Beras Padi) Melambangkan Kemakmuran
·         Naleung Sitambo (Rumput/ Gulma berakar kokoh) melambangkan kehidupan yang mendapat kemudahan dan kokoh dalam mepertahankan hidupnya.
·         On Gaca (daun pacar/ inai) melambangkan isteri sebagai obat pelipur lara sekaligus sebagai perhiasan rumah tangga.
·         On Seunijuek (daun cocor bebek) melambangkan kesejukan.
·         Buluekat kuneng (Ketan Kuning) Melambangkan kesuburan, kedamaian dan menonjol dalam kehidupan.
·         On Murong (daun kelor) lambing penangkal ilmu hitam.
·         On Manek Mano sebagai pelengkap dan memeriahkan suasana.
Seluruh daun-daun diikat menjadi satu atau dua ikat dan ditempatkan dalam mangkok besar yang berisi air. Bunga rampai, beras, padi ditempatkan dalam piring kecil. Kemudian mangkok dan piring di letakkan didalam dalong dan ditutup dengan tudung saji, lalu ditutup dengan seuhap (kain segi empat bersulam emas atau perak dipakai untuk menutupi tudung saji). Daun pacar yang sudah di lepas dari tangkainya, ditempatkan dalam piring besar didalam dalong lain. Batu giling diletakkan pada “tika meusujo”dan dialas kain.
Upacara peugaca ini biasanya dilaksankan pada malam hari selama 3-7 malam, semua perlengkapan ditempatkan dipiring yang telah dihias didalam dalong pada tika meusujo (tikar kerawang khas Aceh). Busana yang dikenakan oleh dara baro pada upacara malam peugaca tidak terikat dan terus berganti-ganti dari malam pertama hingga malam ketujuh.
Upacara Peusijuk dipimpin oleh “Nek Maja” (sesepuh adat), dan dimulai oleh orang tua/ibu calon “dara baro”, kemudian diikuti oleh keluarga terdekat, pada saat peusijuk dimulai, dalam tempat yang berisi air seunijuk dimasukkan emas sebagai lambing kemuliaan yang tidak pernah luntur. Peusijuek ini ditujukan kepada calon dara baro, batu giling, daun pacar dan hadirin yang ada di sekitarnya juga diberikan percikan air seunijuk (tempung tawar).
Calon dara baro, didudukkan di tilam bersulam kasap, di sebelah kiri dan kanannya diletakkan dalong berisi seunijuk dan bu leukat (tepung tawar dan ketan), dibagian depannya diletakkan dalong berisi daun pacar dan bate seumeupeh (batu giling). Kaki dara baro dialasi dengan daun pisang muda.
Beras padi ditaburkan/ disebarkan ke samping dara baro, demikian pula halnya dengan bunga rampai dan air seunijuek. Seumunya ini dimulai dari telapak tangan mengintari badan menuju keatas kepala. Setelah itu calon dara baro diberi uang sebagai hadiah, kemudian bersujud mencium tangan yang melakukan peusijuek dan dibalas dengan ciuman kasih saying pada dahi lalu peusijuek bate dan gaca.
Selesai peusijuk, barulah daun pacar digiling oleh ibu calon dara baro dan keluarga terdekat secara bergantian. Demikian pula memberi daun pacar yang telah digiling itu pada calon dara baro secara bergantian dan disempurnakan oleh ahlinya (ibu rias).
Upacara peusijuk biasanya dilaksanakan pagi hari, dengan harapan kehidupan terus menanjak dan murah rezeki. Upacara peusijuek dilaksanakan dengan harapan agar mempelai mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Pada saat itu biasanya diadakan malam kesenian untuk hiburan mereka yang sedang bekerja untuk persiapan pesta.
d.      Peumano Dara Baro
Sebelum memasuki upacara peumano juga dilakukan peusijuek (tepung tawar) terlebih dahulu dan beberapa hari sebelumnya dara baro (mempelai wanita) sudah dirawat agar badannya bersih dan kulitnya halus.
Upacara Peumano (memandikan), baik calon mempelai wanita maupun mempelai pria dimandikan oleh orang tua adat yang taat, orang tua mempelai dan sanak keluarga terdekat dari kedua orang tuanya dalam jumlah yang ganjil. Dalam upacara mandi dibacakan doa-doa bersuci, agar calon mempelai bersih lahir dan batin dalam memasuki jenjang perkawainan.
Mempelai dipayungi, diantara orang tuanya dan sanak saudara terdekat yang dipimpin oleh orang tua adat sampai ke tempat pemandian sambil membaca salawat nabi Muhammad SAW. Karena diantara pengiring tersebut ada yang pandai berpantun, maka ada acara bersyair. Acara itu merupakan acara spontanitas yang dapat menambah khitmatnya suasana pemandian. Syairnya berisi puji-pujian pada keluarga dan nasehat untuk mempelai sesuai dengan kondisi saat itu.
Upacara peumano dara baro, dimasa lampau dilaksankan penuh khidmat dan mempunyai makna sangat sakral. Dahulu pelaksanaan upacara ini hanya untuk kalangan keluarga terdekat saja dan hanya dilakukan oleh kaum bangsawan. Tetapi sekarang dapat dilakukan oleh semua orang tanpa terkecuali.
Pada saat upacara pemano dara baro, di sertai dengan tari pho yang merupakan tarian asli Aceh Barat. Adapun perlengkapan yang diperlukan:
·         Sebuah guci yang berisi air
·         Jeruk purut yang sudah diracik
·         Bunga rampai (bunga setaman)
·         Sebotol minyak wangi
·         Gayung mandi (Batee ie)
·         Handuk (Seunalen)
·         Ija Seunalen (kain untuk bersalin/basahan)
Guci yang telah berisi air dimasukkan jeruk purut, bunga rampai dan minyak wangi.
Upacara ini dipimpin oleh sesepuh adat, dimulai dengan orang tua mempelai dan diikuti oleh keluarga terdekat. Caranya adalah dengan menyiramkan segayung air ramuan tersebut mulai dari atas kepala, ke bahu (pundak) sebelah kanan dan kiri hingga rata keseluruh badan dan kaki yang dilakukan secra bergantian oleh ibu-ibu saja. Boleh diikut sertakan ayah kandungnya.
e.       Wo linto (mempelai pria pulang ke rumah mempelai putri)
Upacara wo linto merupakan puncak acara yang dinanti nantikan, karena upacara ini merupakan upacara peyambutan linto baro (mempelai pria) yang diantar ke rumah orang tua dara baro (mempelai putri). Dalam upacara ini, dara baro (mempelai wanita) sudah dirias dan memakai busana pengantin Aceh lengkap dengan sanggul cak-cengnya.
Sebelum bersanding, mempelai wanita dibimbing oleh peunganjo (orang yang mendampingi) menghadap kedua orang tua untuk semah ureung chik (sungkem kepada kedua orang tua) kemudian baru dibawa oleh peunganjo untuk didudukkan dipelaminan menunggu mempelai pria dan rombongan tiba.
Begitu pula halnya linto baro (mempelai pria), setelah berpakaian pengantin lengkap, melakukan seumah ureung chik (sungkem kepada kedua orang tua) untuk mendapatkan restu barulah rombongan peutren linto (pengantar mempelai pria) berangkat ke rumah dara baro. Hal ini dilakukan karena pada masa lampau, kedua orang tua linto baro tidak menghadiri upacara wo linto tersebut.
Dalam upacara ini rombongan linto baro dari jauh atau perbatasan kampung (desa) sudah meuseulaweut (bersalawat kepada Nabi Muhmmad SAW) sambil berjalan mendekati rumah dara baro. Sedangkan pihak dara baro menjemput rombongan linto baro kurang lebih 500 meter dari rumah dara baro. Kemudian pihak linto baro dan pihak dara baro melakukan seumapa (berbalas pantun). Jika pihak mempelai pria kalah dalam berbalas pantun, maka acara selanjutnya tidak dapat dilanjutkan. Tetapi jika pihak mempelai pria dapat memenangkan acara berbalas pantun, maka dilanjutkan dengan upacara tukar-menukar sirih yang melakukan adalah dua orang tua (sesepuh) dari kedua belah pihak.
Sesampainya di pintu gerbang, mereka disambut dengan geulumbong (silat) lalu dilakukan tukar menukar sirih. Kemudian pengantin pria dipersilahkan masuk melalui kain yang telah dibentangkan  untuk dipertemukan dengan calon mempelai wanita, setelah itu dilakukan acara injak telor dan membasuh kaki pengantin pria, Hal itu melambangkan bahwa untuk memasuki jenjang rumah tangga harus dalam keadaan suci lahir batin. lalu pengantin wanita menyalami pengantin pria kemudian keduanya bersanding di pelaminan. Setelah itu kedua mempelai dibimbing kembali ke pelaminan untuk dipeusijeuk oleh keluarga secara bergantian, mulai dari pihak dara baro kepada linto baro dengan memberikan uang atau barang yang mempeusijuek harus ganjil.
Dalam upacara wo linto ini pihak linto baro membawa beberapa perangkat untuk dara baro dan juga makanan kaleng, kopi, teh, susu, gula, kue-kue, buah-buahan, sabun mandi, bibit tanaman, seperti : bibit tebu, bibit kelapa (u bijeh), u teulason dan lain-lain sesuai dengan kemampuan linto baro. Peunuewo (bawaan linto baro) dibalas oleh pihak dara baro dengan memberikan makanan berupa kue-kue adat dan lain-lain yang telah dihias dalam
dalong (balas hidang).
f.       Tueng Dara Baro (Mengundang Mempelai Puteri)
Upacara tueng dara baro adalah upacara mengundang dara baro beserta rombongan ke rumah mertua (orang tua linto baro). Upacara ini dilaksanakan pada hari ketujuh setelah upacara wo linto. Pada upacara ini dara baro yang diiringi satu atau dua orang peunganjo (orang tua yang mendampingi) dan rombongan datang dengan membawa kue-kue yang ditempatkan dalam dalong yang telah dihias dan ditutup dengan suhab (kain penutup sange/tudung saji yang disulam dengan benang kasab/emas). Pada upacara ini, cara penyambutannya sama seperti pada upacara wo linto, hanya pada upacara tueng dara baro tidak ada berbalas pantun dan cuci kaki.
Dalam adat Aceh Barat , bila keluarga wanita berasal dari keluarga terpandang/mampu dia akan ditandu di atas kursi yang telah dihias. Di pintu masuk halaman, rombongan disambut dengan upacara tukar-menukar sirih oleh para orang tua kedua belah pihak. Dara baro disambut oleh keluarga linto baro dengan memayungi dan membimbingnya menuju rumah linto baro. Tiba di tangga pintu masuk rumah, rombongan ditaburi breuh pade (beras padi), bungong rampo (bunga rampai), on seunijeuk (daun-daun sebagai tepung tawar).
Dara baro dipersilahkan menuju tempat istimewa yang telah disediakan, lalu ibu linto baro melakukan tepung tawar dan dara baro pun bersujud kepada orang tua linto baro. Orang tua linto baro memegang tangan dara baro dan membimbingnya mengarah suatu tempat untuk mengambil perhiasan yang berada di dalam air kembang di suatu wadah khusus. Perhiasan tersebut diserahkan oleh dara baro kepada ibu mertuanya untuk dipakaikan kepada dara baro. Biasanya perhiasan terdiri dari kalung, gelang atau cincin emas sesuai dengan kemampuan pihak linto baro. Sesampai di rumah orang tuanya, dara baro dan rombongan disambut dengan upacara jamuan makan bersama, maka selesailah upacara adat perkawinan Aceh.

2.2              Pengaruh Modernisasi Terhadap Adat Perkawinan di Meulaboh
Dalam adat dan upacara perkawinannya, pengaruh luar lebih banyak diterima setelah kemerdekaan, karena kesatuan sosial dan pemerintah yang tersentralisasi dan lancarnya komunikasi antar daerah, diantaranya yaitu :
1.     Dalam memilih jodoh, orang tua sudah memberi kebebasan kepada anak-anaknya untuk menentukan jodohnya sendiri.
2.     Malam meugaca tak lagi dilakukan selama 7 malam, tapi sekarang hanya dilakukan 2 atau 3 malam.
3.     Dalam hal jinamee, banyaknya jinamee tergantung kesanggupan dari mempelai prianya.
4.      Cara menghias pelaminan tidak terlalu terikat, karena terus berkembang dan kreasinya sesuai seni masing-masing perias asalkan tidak meninggalkan ciri-ciri khasnya
5.     Pakaian upacara dan hiasan-hiasan rumah tampak mengalami perubahan. Dalam upacara pernikahan sekarang sudah ada tambahan menggunakan baju pengantik seloyor, yang digunakan setelah memakai pakaian adat aceh. Dimasa kini walaupun masih ada aspresiasi dari masyarakat , khususnya terhadap para pemegang gelar kebangsawanan atau jabatan masa lalu, pelapisan sosial berikut- tata busananya sudah amat jarang ditemui. Busana yang menonjol dewasa ini adalah yang dikenakan pada upacara adat perkawinan, khususnya akibat munculnya kembali apresiasi terhadap budaya asli daerah.
6.     Bentuk penyajian makanan bagi rombongan pengantin dilakukan secara ala France (cara Perancis).
7.     Dikota Meulaboh  upacara pernikahan tak lagi dilakukan dirumah, tapi sudah dilakukan di gedung-gedung. Hal ini disebabkan karena masyarakat mulai menyukai hal-hal yang bersifat instan, hingga makanan pun sudah memakai sistem catering.

Pengaruh modernisasi bertambah efektif melanda daerah Aceh sekitar jangka 5 tahun terakhir ini, di samping faktor komunikasi, juga masuknya unsur-unsur teknologi modern ke daerah ini.

  


BAB III
PENUTUP
3.1       Kesimpulan
            Pada prinsipnya daerah Aceh bagian pesisir, adat dan kebudayaannya
secara umum hampir sama, namun dalam upacara adat perkawinan masih terdapat aneka ragam/macam dan corak yang disesuaikan dengan selera serta pengaruh seni masyarakat setempat yang membaur dengan daerah yang berdekatan.
            Simbol-simbol dalam upacara perkawinan masyarakat Aceh memiliki makna sendiri sebagai implementasi ajaran dalam perkawinan adat. Simbol-simbol tersebut tak hanya sekedar ajaran moral bagi kedua mempelai agar dapat menjalankan kehidupan rumah tangga yang baik sesuai dengan apa yang dicita-citakan serta menggambarkan pandangan hidup masyarakat terhadap hubungan dengan Tuhan dan antar sesama manusia.
Pengaruh modernisasi bertambah efektif melanda daerah Aceh sekitar jangka 5 tahun terakhir ini, di samping faktor komunikasi, juga masuknya unsur-unsur teknologi modern ke daerah ini. Hal ini menyebabkan banyaknya perubahan-perubahan dalam adat pernikahan di Aceh. Sehingga masyarakat Aceh dominan lebih menyukai perubahan tersebut karena cenderung lebih efetif dan instan.

3.2       Saran
1.      Kita sebagai generasi muda, hendaknya menjaga dan melestarikan budaya asli kita, karena budayalah yang menjadi identitas kita.
2.      Arus globalisasi tidak semua cocok dengan budaya kita, jadi kita harus memilah arus globalisasi tersebut, agar budaya kita tidak hilang







DAFTAR PUSTAKA
Sufi,Rusdi. 2002. Adat Istiadat Masyarakat Aceh. Dinas Kebudayaan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam: Banda Aceh

Ismail, Badruzzaman, Adat Pernikahan etnis-etnis Aceh.Indatu Bookstore: Banda Aceh








            

Tidak ada komentar:

Posting Komentar